Tokoh punakawan dimainkkan dalam sesi gara-gara. Jika diperhatikan secara seksama ada kemiripan dalam setiap pertunjukan wayang antara satu lakon dan lakon yang lain. Pada setiap permulaan permainan wayang biasanya tidak ada adegan bunuh-membunuh antara tokoh-tokohnya hingga lakon gara-gara dimainkan. Mengapa? Dalam falsafah orang Jawa, hal ini diartikan bahwa janganlah emosi kita diperturutkan dalam mengatasi setiap masalah. Lakukanlah semuanya dengan tenang, tanpa pertumpahan darah, dan utamakan musyawarah. Cermati dulu masalah yang ada, jangan mengambil kesimpulan sebelum mengetahui masalahnya. Ketika lakon gara-gara selesai dimainkan, barulah ada adegan yang menggambarkan peperangan dan pertumpahan darah. Itu dapat diartikan bahwa jika musyawarah tidak dapat dilakukan maka ada cara lain yang dapat ditempuh dalam menegakkan kebenaran. Dalam Islam pun, setiap dakwah yang dilakukan harus menggunakan tahap-tahap yang tidak berbeda dengan tahap-tahap yang ada dalam dunia perwayangan ini. Dalam mengajak pada kebenaran/mencegah kemungkaran, para pendakwah awalnya harus memberi peringatan (Bi Lisani) dengan baik; jika tidak mau, beri peringatan dengan keras; jika tidak mau, kita dapat menggunakan kemampuan maksimal kita dalam mengupayakan penegakan kebenaran (termasuk Jihad, mungkin). Nah, lakon gara-gara jelas sekali menggambarkan atau membuka semua kesalahan, dari yang samar-samar kelihatan jelas.Ini merupakan suatu hasil dari sebuah doa yang terkenal Allahuma arinal Haqa-Haqa warzuknat tibaa wa'arinal bathila-bathila warzuknat tinaba. [Ya Allah tunjukilah yang benar kelihatan benar dan berilah kepadaku kekuatan untuk menjalankannya, dan tunjukilah yang salah kelihatan salah dan berilah kekuatan kepadaku untuk menghindarinya. Semua menjadi jelas mana yang benar dan yang salah. Hingga akhir dari cerita wayang, para tokohnya yang berada di jalur putih akan memenangkan pertempuran melawan kejahatan, setelah benar-benar mengetahui mana jalan yang benar dan mengerti masalahnya.(bersambung)
Senin, 13 April 2009
Mengenal Wayang....Punakawan
Tokoh punakawan dimainkkan dalam sesi gara-gara. Jika diperhatikan secara seksama ada kemiripan dalam setiap pertunjukan wayang antara satu lakon dan lakon yang lain. Pada setiap permulaan permainan wayang biasanya tidak ada adegan bunuh-membunuh antara tokoh-tokohnya hingga lakon gara-gara dimainkan. Mengapa? Dalam falsafah orang Jawa, hal ini diartikan bahwa janganlah emosi kita diperturutkan dalam mengatasi setiap masalah. Lakukanlah semuanya dengan tenang, tanpa pertumpahan darah, dan utamakan musyawarah. Cermati dulu masalah yang ada, jangan mengambil kesimpulan sebelum mengetahui masalahnya. Ketika lakon gara-gara selesai dimainkan, barulah ada adegan yang menggambarkan peperangan dan pertumpahan darah. Itu dapat diartikan bahwa jika musyawarah tidak dapat dilakukan maka ada cara lain yang dapat ditempuh dalam menegakkan kebenaran. Dalam Islam pun, setiap dakwah yang dilakukan harus menggunakan tahap-tahap yang tidak berbeda dengan tahap-tahap yang ada dalam dunia perwayangan ini. Dalam mengajak pada kebenaran/mencegah kemungkaran, para pendakwah awalnya harus memberi peringatan (Bi Lisani) dengan baik; jika tidak mau, beri peringatan dengan keras; jika tidak mau, kita dapat menggunakan kemampuan maksimal kita dalam mengupayakan penegakan kebenaran (termasuk Jihad, mungkin). Nah, lakon gara-gara jelas sekali menggambarkan atau membuka semua kesalahan, dari yang samar-samar kelihatan jelas.Ini merupakan suatu hasil dari sebuah doa yang terkenal Allahuma arinal Haqa-Haqa warzuknat tibaa wa'arinal bathila-bathila warzuknat tinaba. [Ya Allah tunjukilah yang benar kelihatan benar dan berilah kepadaku kekuatan untuk menjalankannya, dan tunjukilah yang salah kelihatan salah dan berilah kekuatan kepadaku untuk menghindarinya. Semua menjadi jelas mana yang benar dan yang salah. Hingga akhir dari cerita wayang, para tokohnya yang berada di jalur putih akan memenangkan pertempuran melawan kejahatan, setelah benar-benar mengetahui mana jalan yang benar dan mengerti masalahnya.(bersambung)
Kamis, 02 April 2009
Timlo Solo
Bahan:
50 g suun kering, rendam air panas hingga lunak, potong-potong
Dadar:
1 sdm minyak sayur
2 butir telur ayam, kocok
50 g daging ayam, sangrai kering
=BD sdt merica bubuk
=BD sdt garam
Kuah:
2 sdm minyak sayur
3 siung bawang putih, cincang halus
4 butir bawang merah, cincang
1 liter kaldu ayam
15 butir telur puyuh, rebus, kupas
4 buah ampela ayam, rebus setengah matang
3 sdm kecap manis
=BD sdt merica bubuk
1 sdt garam
Taburan:
1 sdm seledri cincang
1 sdm bawang merah goreng
Cara membuat:
Dadar: Aduk semua bahan menjadi satu. Buat menjadi dadar tipis. Gulung, iris melintang halus. Sisihkan.
Kuah: Panaskan minyak, tumis bawang putih dan bawang merah hingga layu. Tuangi kaldu, didihkan. Masukkan bahan lainnya. Masak hingga ampela empuk dan telur kecokelatan warnanya. Angkat. Ambil ampela, iris tipis. Sisihkan.
Penyajian: Taruh suun, dadar, dan ampela di mangkuk-mangkuk. Tuangi kuahnya. Beri bahan Taburan. Sajikan hangat.